Selasa, 05 Juli 2016

Internet membuat kita berpikir dangkal? - disadur dari The Shallows by Nicolas Carr

"Dulu, saya seorang yang gila baca. Kini, saya hampir kehilangan kemampuan membaca dan menyerap artikel yang agak panjang di web maupun media cetak" - Scott Carp.

   Jadi sebelum memulai pembahasan ini. Pertanyaan sederhana: apakah anda masih sanggup membaca dalam waktu yang cukup lama, sejam misalnya? apakah ketika membaca artikel yang panjangnya diatas 1000 kata masih tetap sabar mengikuti atau mata dan tangan mulai tidak sabaran, ingin pindah tab; baca notif di sosial media; buka chat di hp atau melakukan yang lain? jika tidak, maka untuk tidak membuang waktu, konklusinya adalah internet secara pasti telah merubah cara berpikir kita. Internet mengajarkan cara agar bisa multitasking; tidak sabaran untuk melakukan hal lain; terbiasa dengan interupsi; dan menurukan daya serap informasi dari sebuah bacaan.Internet memang memberikan kemudahan dan kesenangan, tapi juga mengorbankan kemampuan kita dalam berpikir secara mendalam.

    Namun jika masih sanggup, berikut penjelasan detail yang saya sadur dari buku The Shallows oleh Nicholas Carr. Salah satu nominasi Pulitzer Award 2011 untuk kategori General Nonfiction: Benarkah internet mendangkalkan cara berpikir kita?

    Media adalah pesan
   Secara harafiah The Shallows menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak sabaran, yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang bertele-tele dan lama sudah tak mendapat tempat lagi. Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Pertama, mereka yang meyakini bahwa masalah diatas murni adalah kesalahan pengguna internet. Mereka percaya bahwa teknologi hanyalah alat yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya dan lebih tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya. Mengedukasi pengguna adalah solusinya. Kedua, mereka yang percaya bahwa dalam jangka panjang konten teknologi tidak lebih penting daripada teknologi itu sendiri dalam memengaruhi bagaimana kita berpikir dan bertindak. Media membentuk apa yang  kita lihat dan bagaimana kita melihanya, jika kita cukup sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa diri kita. Kita terlalu terpana dan terpesona pada hiburan sehingga tidak memerhatikan apa yang terjadi di kepala kita. Akhirnya kita berpura-pura bahwa teknologi tidaklah penting. Pandangan kedua inilah yang menjadi perhatian penulis.
    
   Dulu begitu mudah untuk tenggelam ke dalam buku atau artikel panjang. Pikiran saya akan hanyut ke dalam seluk-beluk cerita. Tapi kini? berbeda. Saya mulai kehilangan fokus pada halaman pertama atau kedua. Saya mulai gelisah, kehilangan fokus dan mencari aktivitas lain. Entah saat online atau tidak, kini pikiran saya berharap untuk menerima informasi seperti cara internet mendistribusikannya. Cepat dan singkat. Kebanyakan orang akan mengakui bahwa dia menjadi pembaca yang tidak sabaran namun menemukan diri mereka merasa lebih cerdas dan begitu gembira karena semakin banyak koneksi informasi yang didapatkan. Disinilah masalahnya, kemampuan untuk berpikir linear(berpikir secara sistematis, terarah dan memiliki tujuan serta bernalar) dan membaca sastra menjadi menurun, karena keduanya membutuhkan proses waktu yang lama dan teks yang panjang. Padahal pemikiran linear dan sastra telah menjadi inti dari seni, ilmu, dan masyarakat. Dengan lentur dan lembut, pemikiran semacam ini telah menjadi pemikiran imajinatif pada masa Renaisans Eropa, pikiran rasional dimasa pencerahan, pikiran inventif dimasa revolusi industri dan pikiran memberontak dimasa modernisme.
    
    Teknologi intelektual
   Kedewasaan intelektual kita sebagi individu bisa dilihat dari cara kita membuat gambar. Awalnya kita menggambar dari ingatan harafiah tentang fitur tempat disekitar kita, gunung sungai dan pohon.  Kemudian kita menggambar ruang dan topologi geografis serta lebih abstrak. Kita menggambar dari apa yang kita lihat menjadi apa yang kita tahu. Begitu juga dengan jam, alat ini digunkan untuk menerjemahkan konsep artifisial terhadap waktu. Internet adalah bagian dari teknologi intelektual dimana teknologi ini digunakan untuk menopang kekuatan pikiran kita. Teknologi intelektual juga memiliki etika intelektual yaitu serangkaian asumsi bagaimana cara kerja pikiran manusia atau seharusnya pikiran bekerja terhadap teknologi itu.
 
    Kita menyadari salah satu lompatan sejarah intelektual adalah penemuan alfabet. Dimulai pada 8000 SM ketika manusia pertama sekali menggunakan simbol untuk menghitung jumlah hewan. Kemudian penemuan dan penggunaan alfabet(walaupun belum selengkap sekarang) secara luas oleh masyarakat Yunani sekitar 400SM dan mengakibatkan munculnya beragaman media untuk menulis seperti daun papirus atau kulit hewan. Pada pada perkembangananya di tahun 1440an, mesin cetak ditemukan, terjadilah ledakan pertumbuhan cetakan tulisan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sampai pada akhirnya kita masuk ke jenis media baru diakhir tahun 1800an, dimana radio kemudian televisi mengubah cara orang untuk mendapatkan informasi. Kemudian internet ditahun 1990an digunakan secara luas. 
 
   Ekosistem Teknologi Interupsi
  Internet unik dibandingkan dengan media lain. Internet bersifat dua arah. Kita dapat mengirim dan menerima informasi pada saat yang bersamaan. Namun sayangnya, internet juga bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Ketika kita membuka gadget, kita tercebur ke dalam "ekosistem teknologi interupsi". Interaksi, link, kemudahan pencarian dan multimedia telah membawa volume informasi pada tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, apabila akses ke informasi menjadi mudah, kita cenderung menyukai bagian yang pendek, yang manis dan yang sedikit. Ketika kita online, kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran terburu-buru dan terganggu. Internet merampas perhatian kita hanya untuk mencecerkannya. Interupsi ketika membaca informasi dapat dilihat ketika kita menemukan link pada tumpukan teks di web, pada sepertian sekian detik, kita memberikan kesempatan pada korteks prafontal(bagian depan otak yang aktif) untuk mengevaluasi apakah perlu meng-klik link tersebut atau tidak. Sifat asli dari pikiran pembaca adalah tidak merangsang indera, tenang dan menyelemai pikiran mendalam dan bukan mengaktifkan otak untuk bagian pemecaran masalah. Namun internet mengajarkan sebaliknya.

   Informasi (muatan kognitif)yang masuk ke dalam memori aktif kita , yang kita terima melebihi kemampuan pikiran kita untuk menyimpan dan memproses informasi, maka kita tidak bisa menyimpan informasi atau menarik kaitan informasi tersebut dengan memori jangka panjang. Akhirnya kita tidak mampu untuk menerjemahkan informasi baru itu kedalam skema yang ada dalam pemikiran kita. Kemampuan belajar kita menurun drastis dan pemahaman kita tetap dangkal. Kita semakin sukar untuk membedakan antara informasi yang relevan dengan yang tidak relevan, kita menjadi konsumen data yang tak punya otak. Untuk memahami bagaimana sebenarnya pengalaman membaca diinternet dapat dilakukan dengan membaca buku dan disaat yang bersamaan mengerjakan teka-teki silang.

   Interupsi hiperteks telah membawa kita pada pemahaman yang baru. Ada penemuan yang menyebutkan bahwa pemehaman kita menurun seiring meningkatknya jumlah link pada sebuah artikel. Hal ini tentu bertolakbelakang dengan jargon bahwa hiperteks akan menggiring ke arah pengalaman yang kaya akan teks, hiperteks akhirnya mengurangi kinerja membaca kita. Hiperteks dan hal lain, telah menyedot sumber daya mental kita. Ketika kita membaca dan teralihkan maka akan dibutuhkan lebih banyak energi untuk kembali melakukan reorientasi terhadap teks bacaan tersebut. Namun sayangnya, keluar dari media interupsi tersebut bukanlah pilihan yang dipertimbangkan kebanyakan kita.

   apakah kita, benar-benar membaca ketika melakukan browsing? jawabanya adalah tidak. Kita membaca artikel seperti pola huruf F. Membaca paragram pertama, kemudian paragram keduan dan melompat kebawah, tanpa mendalami tulisan tersebut. Kita tidak fokus, tidak tenang dan banyak interupsi. Peralihan konstan perhatian ktia ketika sedang online, membuat otak kita lebih gesit dan sampai pada tahap multitasking, namun semakin meningkatnya multitasking, sebenarnya menghambat kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam dan kreatif. Kebebasan kita akan berkurang dan semakin kurang kemampuan berpikir dan menalar sebuah persoalan. Akibatnya, makin cenderung bergantung pada berbagai gagasan dan solusi konvensional daripada menantang cara berpikir original(baru). Ketika kita melakukan multitasking online, kita melatih otak untuk memperhatikan sampah dan ini terbukti berpengaruh buruk untuk kemampuan intelektual kita.

      Kemana muaranya?
     Kita menyadari bahwa pengetahuan itu ada dua macam. Kita memahami sebuah subjek dan atau kita memahami di mana tempat menemukan informasi tentang hal itu. Dan kecerdasan kita tidak lebih baik dari para pendahulu kita. Kita hanya cerdas dalam hal yang berbeda. Kita harus seperti lebah. Kita harus menyimpan informasi diruang yang berbeda tentang apapun yang kita kumpulkan dari berbagai bacaan. Kemudian, setelah setelah dengan rajin menerapkan semua sumber daya bakat asli kita, kita harus mencampur  berbagai macam sari madu yang telah kita kecap, lalu mengubahnya menjadi zat yang manis, sedemikian rupa sehingga sekalipun jelas dari mana asalnya, akan tampak jauh berbeda dengan aslinya. Kita banyak menyimpan "pengetahuan mendalam yang sedikit" didalam benak kita. Dengan adanya teknologi baru, kita harus peka tentang apa yang hilang dan apa yang kita dapatkan.  Akhirnya, mungkin kita akan kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi pada sebuah tugas yang kompleks dari awal sampai akhir. Namun sebagai gantinya kita, memperolah keterampilan baru, misalnya melakukan beberapa percakapan secara bersamaan dari beberapa media berbeda. dan bukan berarti kita harus “menjauh” dari teknologi internet. Kita memang harus bijak dalam menggunakan suatu teknologi. Buku ini seperti sebuah peringatan agar pembaca tidak mengikuti begitu saja arus teknologi yang ada di sekitarnya.
 
    Catatan kaki:
    Fenomena yang diangkat penulis ini, sebenarnya terjadi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pernah membuka situs berita online? hampir keseluruhannya sama. Singkat, bombastis dan hampir tak ada isi(dangkal). Berbeda dengan koran cetak yang biasanya muatannya sudah melalui proses yang cukup panjang untuk sampai ketangan anda. Tentu dengan konten informasi yang lebih baik dari media online.
 
    Media sosial juga mengajarkan hal demikian,kita dihadapkan pada situasi dimana informasi yang diberikan itu harus singkat, dan tak bertele-tele. Kita hanya tau kesimpulannnya namun tak bisa menarik, akar pembahasannya. Belum lagi dengan fakta bahwa jumlah minat baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Bahkan kita tak sampai satu buku per orang per tahun. Dan di Asia Tenggara?, kita berada pada posisi paling bawah.

    Akhir-akhir ini sedang digalakkan untuk membaca e-book. Itu sangat baik, mengingat nilai ekonomis yang ditawarkan dan fleksibelitasnya. Namun, harus dipastikan bahwa e-book tersebut bebas dari interupsi. Jika tidak, maka hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Interupsi ini bisa berupa hipertext, iklan, atau media yang terinsall di gadget untuk membuka e-book tersebut.

   Note: hipertext dimaksudkan diatas adalah teknologi html, seperti link, popup atau slider text yang mengganggu konsentrasi kita.
***

1 komentar: