Sabtu, 30 Juli 2016

[Review Buku] Manusia Indonesia - Mochtar Lubis 1977

Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) 
Ceramah pada tanggal 6 April 1977
di Taman Ismail Marzuki - Indonesia

    Buku yang diterbitkan dari naskah lengkap pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada tahun 1977  ini banyak mendapatkan perhatian. Bagaimana tidak? pidato yang sudah berumur 40 tahun ini masih dibedah sampai sekarang, bahkan sudah memasuki cetakan ke-5. Banyak yang pro dan kontra terhadap terbitnya buku ini. Secara umum saya membaginya menjadi tiga. Pertama, mereka yang kontra karena menganggap tulisan ini tidak berdasar? manusia Indonesia mana yang dimaksudkan? apakah dia sudah menganalisis setiap orang di Indonesia? yang mengarah pada pembuktian, dasar ilmiah dan fakta empiris isi ceramah ini. Kedua, mereka yang kontra karena buku ini menyudutkan dan tidak benar. Dari 6 sifat yang dibahas hanya satu yang positif, mereka percaya masyarakat Indonesia tidak seperti itu. Ketiga adalah mereka yang menerima dan menyadari sifat-sifat tersebut dan menilai ini adalah pemikiran kristis dari seorang jurnalis kenamaan di zamannya.

  Jakob Oetama, dalam kata pengantarnya, menengahi pro dan kontra dengan meletakkan isi buku ini pada tempat yang seharusnya. Dia mengatakan yang dimaksudkan adalah manusia Indonesia yang di stereotipkan (pictures in our head). Stereotip tidaklah seluruhnya benar atau seluruhnya salah. Stereotip muncul karena pengalaman, observasi, prasangka dan generalisasi. Buku bermanfaat sebagai pangkal tolak serta bahan pemikiran dan penilaian kritis untuk membangun kembali manusia Indonesia, menjembatani jurang yang menganga antara manusia ideal kita dengan manusia Indonesia. Maka aktual dan relevanlah buku ini untuk masuk dalam ruang diskusi. 

  Kalimat pertama buku ini, sudah cukup menohok, "Wajah lama sudah tak karuan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas". Sifat buruk manusia Indonesia semakin terlihat disetiap sisi keseharian, kita sadar itu, karena kita melihatnya dari kaca pengalaman, tapi kita biarkan. Dan keinginan untuk manusia Indonesia yang baik belum juga menampakkan wujudnya. Kita, manusia Indonesia, tidak berdaya pada pilihan. Kita terima semua dan hidup berdampingan. Misal, kita menerima agama, tetapi masih percaya tahayul. Kita menerima demokrasi, tapi masih menjalankan kebiasan feodal. Kita belajar mengatakan tidak dengan cara lain, hingga kata 'tidak' itu ditutupi dan diberi topeng, hingga tidak dapat lagi dikenali.

   Keenam sifat manusia Indonesia dalam buku ini, adalah:
  1. Munafik atau hipokrit seperti semboyan Asal Bapak Senang.
  2. Enggan mengambil tanggung jawab
  3. Bersikap dan berperilaku Feodal
  4. Percaya Takhyul
  5. Artistik
  6. Lemah watak dan karakter.
   Sebenarnya, ada beberapa sifat lainnya yang disebutkan dibuku ini, namun yang enam diatas yang menjadi perhatian utama penulis.

  Ada yang menggilitik dari buku ini, yang sering terjadi di media sosial saat ini. "Falsafah yang berlaku saat ini adalah falsafah 'kebeneran'. Meski saudara benar, tetapi tidak lagi kebeneran yang saudara salah. Dan berlaku sebaliknya".Kalimat tersebut secara tidak langsung dapat kita lihat di media sosial saat ini. Ketika banyak isu suku atau agama muncul di media sosial dan beberapa akun mengupas isu tersebut dengan pisau dalil konstitusi, agama dan adat -yang seringkali mereka campuradukkan- banyak yang benar tetapi salah karena tidak kebeneran dan yang salah sering dianggap benar walaupun salah karna lagi kebeneran. 

   Reformasi sudah berumur belasan tahun saat ini, namun entah mengapa sosok manusia Indonesia seperti dilukiskan di atas lebih kuat lagi aktualitas dan relevansinya. Beberapa penyebabnya ialah pendidikan, sistem, dan struktur politik yang ikut mengentalkan sifat-sifat negatif tersebut. Namun kita harus yakin dan percaya, bangsa Indonesia bukan bangsa Paria. Kita berbudaya, kita punya tata krama. Kita ingin maju dan sedang maju. 

"Saya mengusulkan... Ah, apa yang hendak saya usulkan??? Saya usulkan kita di Indonesia bersikap lebih manusia terhadap sesama manusia kita." - Mochtar Lubis

"Saya memberikan lukisan yang suram, tetapi saya tidak melihat hari depan manusia Indonesia dengan mata yang suram" - Mochtar Lubis

Senin, 11 Juli 2016

[Review Film] Amazing Grace - 2006


  "Perjuangan selama 20 tahun untuk sebuah idealisme: penghapusan perbudakan."
  Film ini adalah gambaran nyata perjuangan politik, pertobatan dan idealisme yang digabung menjadi satu. Dibangun dari dua kisah berbeda namun saling berkaitan, film ini mengenalkan kepada seorang yang bernama William Wilberforce (1759-1833) anggota majelis rendah kerajaan Inggris dan John Newton (penulis Amazing Grace) mantan kapten kapal budak selama bertahun-tahun dan ia mengalami pertobatan dramatis lewat badai. 

"Although my memory's fading, I remember two things very clearly. 
I'm a great sinner and Christ is a great Savior."-John Newton

   Pertemuannya Wilberforce dan John Newton dimulai ketika dia keluar dari politik dan belajar teologia dengan fokus mengkritisi keadaan para pekerja di Inggris waktu itu. John Newton yang sudah buta dan pendeta pada sebuah gereja, menjadi mentornya dengan tekad yang sama yaitu untuk menghapuskan perbudakan. Pendeta Newton mendorong Wilberforce untuk berkiprah kembali dan melanjutkan misinya dalam politik untuk Allah, bukan untuk meninggalkan politik bagi Allah. 

  John Newton dalam film ini digambarkan merupakan pahlawan iman yang indah. John Newton selama bertahun-tahun setelah pertobatan dari keterlibatan dalam perbudakan, disiksa dengan rasa bersalah "darah masih di tangan saya." karena dia membawa budak dari tanah Afrika dan dijual ke Inggris. Sekarang setelah secara fisik buta, dia menyatakan, "Saya pernah buta, tetapi sekarang saya melihat," karena ia akhirnya menerima pengampunan Allah atas dosa-dosa perdagangan budak. Di masa tuanya John Newton menyatakan: "Aku berdosa besar dan Kristus adalah Juruselamat yang besar." 

  Penghapusan perbudakan bukanlah hal yang mudah saat itu. Inggris secara sadar melihat bahwa ekonomi dan politik dipengaruhi oleh perbudakan. Dari sisi ekonomi, para budak adalah sumber penghasilan mereka lewat perkebunan dan penambangan dan kekuatan ekonomi inilah yang memperkuat pengaruh politik Inggris terhadap lawan-lawan negaranya. Jadi saat itu budak adalah penting untuk kekuatan negara.   

   Wilberforce yang didukung oleh para simpatisan, terus berkampanye untuk mengakhiri perdagangan manusia dimana kapal-kapal Inggris membawa budak kulit hitam dari Afrika, dalam kondisi buruk, ke Hindia Barat sebagai barang yang akan dibeli dan dijual.  Dia, bersama temen temannya, mengusung RUU Anti Perbudakan yang terus disuarakan dengan berbagai cara kampanye dan diplomasi “perlementarian”. Dia tetap teguh dengan keyakinan dan idealismenya tanpa harus mengandalkan berbagai cara anarkhis dan kekerasan. John Newton merupakan salah satu pendorong utama semua gerakan William. Dia membuat pernyataan yang berani: "Ini adalah siapa saya, dan ini adalah apa yang saya perjuangkan." Bahkan dalam satu adegan ditampilkan William menyanyikan bait-bait tulisan John Newton lewat lagu “Amazing Grace” di depan para bangsawan dan anggota parlemen Inggris saat itu. Saat mengajukan Rancangan Undang-undang anti perbudakan dalam parlemen Inggris, dia mendapat kecaman, tantangan keras, cemoohan bahkan cacian dari berbagai pihak. Perjuangan panjang Wilberforce diwarnai dengan kondisi fisik yang tidak sehat, tetapi semangatnya tidak memudar.

  Dalam satu adegan dikisahkan Wilberforce sempat mengajukan pertanyaan kepada Tuhan tentang masa depannya berkenaan dengan kesehatannya yang terus menurun, namun demikian Wilberforce mengambil keputusan untuk terus berjuang melawan kebijakan negaranya yang ingin tetap melanggengkan perbudakan. Setelah 20 tahun akhirnya, Undang Undang Penghapusan Perbudakan disahkan parlemen dengan ’dititipkan’ pada Undang Undang Anti Perancis dan mulailah babak baru kemanusiaan di Inggris.

   Dan terakhir, yang melengkapi kekaguman pada cerita film ini adalah perkataan(pujian) yang disampaikan lawan politik Wilberforce: 

"When people speak of great men, they think of men like Napoleon - men of violence. 
Rarely do they think of peaceful men. 
But contrast the reception they will receive when they return home from their battles. 
Napoleon will arrive in pomp and in power, 
a man who's achieved the very summit of earthly ambition. 
And yet his dreams will be haunted by the oppressions of war. 
William Wilberforce, however, will return to his family, 
lay his head on his pillow and remember: the slave trade is no more."-Lord Charles Fox:

catatan:
Film ini diangkat untuk memperingati 200 tahun undang undang anti perbudakan di Inggris (1807-2006) dan perhatian kita tentang banyaknya anak dibawah umur saat ini yang dipekerjakan secara paksa diseluruh dunia.

Jumat, 08 Juli 2016

Why We Work - disadur dari TED Talk Barry Schwartz

    Prof Barry Schwartz adalah pemerhati kaitan antara psikologi dan ekonomi. Pada TED Talk september 2015, dia mengangkat topik yang menurut saya menarik: kenapa kita bekerja?. Tulisan dibawah adalah hasil saduran dari video podcast TED Talk Prof Barry dan beberapa informasi lain dari bukunya Why We Work.

    Kenapa kita bekerja?
  Kebanyakan jawabannya adalah untuk mendapatkan uang(dibayar).  Tetapi kenapa ketika kita bertanya alasan bekerja pada orang yang puas dengan pekerjaannya, uang hampir tidak pernah muncul pada urutan pertama. Ada begitu banyak alasan menarik yang pertama muncul jika ditanyakan pada mereka yang antusias dengan pekerjaannya. Dan kesimpulannya akan bermuara pada "apa yang mereka kerjakan itu berarti". Kita tahu imbalan material bukan alasan yang bagus untuk melakukan pekerjaan kita. 

   Tetapi kenapa kebanyakan orang ini mau melakukan pekerjaan yang tidak punya karakteristik. Kenapa kita melakukan pekerjaan yang monoton tanpa arti dan mematikan jiwa? Kenapa begitu kapitalisme berkembang, menciptakan moda produksi untuk barang dan jasa, justru kepuasan non-material yang mungkin muncul dari pekerjaan menjadi hilang?. Pekerjaan seperti dipabrik, penggilingan, atau gudang, hampir tidak alasan lain untuk melakukan pekerjaan mereka, selain untuk uang. Kenapa?

   Jawabannya adalah 'teknologi ide'. Kita tahu, selain menciptakan sesuatu yang baru, ilmu pengetahuan juga menciptakan ide. Ide(pemahaman) yang dibuat adalah cara untuk memahami diri kita sendiri yang memiliki pengaruh besar terhadap cara pikir kita, cita-cita kita dan cara kita bertindak. Misalnya,jika anda berpikir kemisikinan adalah kehendak Tuhan, maka anda berdoa. Jika anda berpikir kemiskinan adalah hasil dari kesalahan anda, anda tenggelaman dalam keputusasaan. dan jika anda pikir kemiskinan adalah hasil dari penindasan dan dominasi maka anda bangkit untuk berontak. Apapun respon kita, itu tergantung dari bagaimana kita memahami sumber dari kemiskinan itu. Inilah peran ide dalam membentuk kita menjadi manusia. Oleh karena itu teknologi ide adalah teknologi paling penting yang diberikan ilmu pengetahun kepada kita.

    Menariknya ada hal yang penting pada teknologi ide. Ide atau pemikiran buruk tentang umat manusia tidak akan hilang jika orang percaya ide itu benar. Jika manusia percaya itu benar, maka mereka membangun hidup yang konsisten dengan pemikiran yang salah itu. Dan begitulah revolusi industri menciptakan sebuah sistem pabrik yang tidak memungkingkan anda untuk keluar dari rutinitas kerja anda, kecuali untuk memperolah bayaran. Karena bapak revolusi industri, Adam Smith yakin bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk pemalas dan tidak melakukan apapun kecuali anda membuat mereka bekerja dan caranya adalah dengan memberi insentif/upah. Itulah satu-satunya alasan seseorang melakukan sesuatu. Jadi kita membuat sistem pabrik atas pandangan salah tentang manusia. Namun setelah sistem produksi tersebut dibuat, orang-orang tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja, kecuali dengan cara yang konsisten dengan pemikiran Adam Smith. Inilah contoh bagaimana ide yang salah dapat menciptakan keadaan yang pada akhirnya mendorong ide itu menjadi benar. Tidak benar, bahwa anda "tidak bisa lagi menemukan pekerja yang bagus". Tapi bisa saja anda "tidak bisa lagi menemukan pekerja yang bagus" apabila anda memberikan orang pekerjaan yang merendakan dan tidak berjiwa. Perusahaan menciptakan orang yang sesuai dengan kebutuhan perusahaannya dan menghilangkan kesempatan mereka untuk memperolah kepuasan dari pekerjaan mereka. 

     Teori yang salah tentang sifat manusia telah memaksa lingkungan dan pekerjaan kita mengikuti ide yang salah itu secara konsisten. Kita dapat mengeluarkan teori fantastis tentang alam semesta, dan apapun teori itu alam semesta tidak akan terpengaruh oleh teori kita. Alam semesta akan tetap berjalan, walau bagaimanapun teori kita. Tapi kita harus khawatir akan teori yang kita yakini tentang sifat manusia. Karena sifat manusia akan berubah mengikuti teori kita, yaitu terori yang dibuat untuk menjelaskan dan membantu kita memahami umat manusia. Antropolog Clifford Geertz, mengatakan bahwa umat manusia adalah mahluk yang belum selesai. Maksudnya adalah sifat manusia merupakan produk dari ide masyarakat dimana manusia itu sendiri tinggal. Sifat manusia lebih banyak diciptakan dari pada ditemukan. Kita mendesign sifat manusia dengan membentuk institusi dimana orang tinggal dan bekerja. Untuk itu, kita perlu bertanya, sifat manusia seperti apa yang ingin kita ciptakan dilingkungan/institusi kita?


   
   Kapan bekerja itu menjadi baik?
   Disadur dari TED Taks Prof Barry dengan judul: Our loss of Wisdom
  Berikut adalah pekerjaan dari seorang pembersih di rumah sakit: membersihkan karpet, menyapu dan mengepel lantai; membersihkan urinal; memvacuum ruangan; membersihkan furniture; membersihkan jendela; mengosongkan bak sampah dan lainnya. Tak ada yang luar biasa dari semua pekerjaan yang tercantum disitu. Namun jika memperhatikan ada yang unik disana, tidak ada satupun tugas didalamnya yang melibatkan orang lain.
   
  Namun ketika beberapa pembersih ditanyai tentang pekerjaan mereka. Salah satunya Mike, mengatakan dia akan berhenti mengepel lantai karena Jones sedang turun dari tempat tidurnya untuk sedikit gerak badan dan mencoba menguatkan badannya dengan perlahan berjalan bolak-balik dilorong. Dan Charlene, petugas bersih lainnya, mengatakan dia tidak mengindahkan teguran atasannya dan tidak memvakum ruang tunggu pengunjung karena ada beberapa anggota keluarga yang setiap hari berada disana untuk tidur siang. Dan Luke, yang dua kali mengepel lantai kamar seorang pemuda yang sedang koma, karena ayah pemuda tersebut, yang telah menjaga anaknya selama enam bulan, tidak melihat saat luke mengepel saat pertama sekali dan dia marah.
 
   Perilaku seperti ini tidak hanya membuat orang merasa lebih baik, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan pasien. Kita harus akui, tidak semua pembersih seperti ini. Tetapi pembersih yang baik berpikir bahwa hubungan antar manusia seperti ini, yang melibatkan keramahan, kepedulian dan empati, adalah bagian penting dari pekerjaan. Walaupun dalam deskripsi pekerjaan mereka tidak ada satupun yang melibatkan orang lain. Para pembersih ini memiliki kemauan moral untuk berbuat baik pada orang lain, lebih lagi mereka memiliki kecakapan untuk menentukan arti "berbuat baik". Kearifan praktis adalah kombinasi antara kemauan moral dan kecakapan moral. orang bijak tahu kapan dan bagaimana membuat pengecualian dalam aturan, tahu kapan berimprovisasi.

    Masalah di dunia nyata seringkali multi-tafsir dan sulit didefinisikan dan konteksnya selalu berubah-ubah. Orang bijak itu seperti musisi jazz, membaca nada partitur tetapi bermain dengan sekelilingnya, mengarang kombinasi yang sesuai dengan situasi dan penonton yang ada saat itu. Orang bijak tahu bagaimana memakai kecakapan moral untuk mewujudkan tujuan mulia. Untuk melayani orang lain, bukan memanfaatkan orang lain dan terakhir orang bijak itu dibuat, bukan terlahir. Kearifan bergantung pada pengalaman dan bukan sembarang pengalaman. Butuh waktu untuk mengenal orang yang anda layani. Anda perlu izin untuk berimprovisasi, mencoba hal baru, terkadang gagal dan belajar darinya. Butuh bimbingan dari guru yang bijak. Jika anda bertanya pada pembersih yang bertindak seperti cerita diatas, seberapa sulitnya mempelajari pekerjaan mereka, mereka akan bilang bahwa diperlukan banyak pengalaman. Bukan pengalaman untuk mengepel lantai atau membersihkan bak sampah. Diperlukan banyak pengalaman untuk belajar cara peduli pada orang lain.

   Kabar baiknya anda tidak perlu pandai untuk menjadi bijak, kabar buruknya tanpa kebijaksanaan, kepandaian tidak cukup. Anda bisa membuat masalah dengan dengan diri anda dan orang lain. Bagaimana kita menulis aturan yang mendorong tindakan mulia para pembersih tadi? apakah anda memberikan bonus karena telah berempati? Aturan dan prosedur bisa saja bodoh, tapi karenanya anda tak perlu berpikir. Kita semakin bergantung pada aturan. Aturan dan insentif mungkin akan memperbaiki keadaan dalam waktu singkat, tetapi juga menciptakan pusaran untuk tenggalam pada waktu lama. Kecakapan moral terkikis habis oleh ketergantungan pada aturan yang mengurangi kemampuan kita untuk berimprovisasi dan belajar dari improvisasi kita dan juga menghancurkan keinginan kita untuk melakukan hal yang benar. Dan dengan aturan dan insentif kita tengah berperang melawan kearifan.

   Sifat pendidikan juga terjadi hal yang sama. Kurikulum yang tertulis jelas, hingga langkah demi langkah sehingga semua guru mengikuti aturan dan siswa menerima hal yang sama. Kita tahu kenapa naskah kurikulum ada. Kita tidak cukup percaya pada pertimbangan guru, untuk membiarkan mereka bebas mengajar. Naskah semacam ini adalah polis asuransi untuk mengantisipasi bencana dan naskah ini memang mencegah bencana. Tetapi juga menggantikannya dengan miskinnya prestasi.  Jangan salah paham, kita butuh aturan. Musisi Jazz butuh catatan nada. Tapi kita tahu terlalu banyak aturan akan menghambat musisi jazz untuk mengasah kemampuan mereka atau mereka malah berhenti bermain musik.

   Jika kita punya satu alasan untuk melakukan sesuatu, kemudian memberikan alasan kedua untuk melakukan hal yang sama, apakah anda akan lebih bersemangat melakukannya? bukankah logis jika dua alasan lebih baik daripada satu dan anda terpacu. Terkadang tidak seperti itu, dua alasan untuk melakukan hal yang sama sepertinya bersaing dan bukannya saling mendukung dan justru memperkecil kemungkinan orang untuk melakukannya. Contohnya, di Swiss, 15 tahun yang lalu, mereka mencoba memutuskan dimana tempat membuang limbah nuklir dan kemudian dilakukan referendum nasional. Psikolog melakukan wawancara terkait isu ini dengan bertanya, bersediakah jika lingkungan anda menjadi tempat pembuangan limbah nuklir? menariknya 50 persen setuju. Mereka tahu itu berbahaya, itu akan menurunkan harga rumah mereka. Tapi limbah itu harus dibuang disuatu tempat dan mereka bertanggung jawab sebagai warga negara. Psikolog juga menanyakan kelompok lain, dengan pertanyaan, jika kami bayar anda dengan gaji 6 minggu setiap tahun apakah anda mau lingkungan anda menjadi tempat pembuangan limbah nuklir? dua alasan, itu tanggung jawab saya dan saya dibayar. Bukannya 50 persen yang setuju, hanya 25 persen yang setuju. yang terjadi adalah ketika kita diberi insentif, kita bukan bertanya lagi apa tanggung jawab saya? tetapi apa yang paling menguntungkan buat saya. Insentif tidak berpengaruh jika pemilik perusahaan tak menghiraukan kelangsungan jangka panjang perusahaan mereka karena mengejar keuntungan jangka pendek untuk menghasilkan bonus fantastis. Insentif berlebihan akan mendemoralisasi aktifitas profesional.

   Tentu ada harapan, kita harus mencoba re-moralisasi kerja. salah satu caranya adalah mengajarkan lebih banyak etika. dan contoh nyatanya : hargai contoh moral yang baik. Manusia selalu terinspirasi oleh pahlawan moral. tetapi kita belajar seiring dengan pendewasaan datang pengertian bahwa kita tak boleh mengakui bahwa kita mempunyai pahlawan moral. Tetapi akuliah, rayakanlah pahlawan moral anda. orang terbijak dan memiliki nilai yang baik akan menyerah jika mereka harus berenang melawan arus diorganisasi mereka. Karena semua pekerjaan selalu melibatkan hubungan dengan manusia lain adalah pekerjaan moral. dan setiap pekerjaan moral bergantung pada kearifan praktis. 

Selasa, 05 Juli 2016

Internet membuat kita berpikir dangkal? - disadur dari The Shallows by Nicolas Carr

"Dulu, saya seorang yang gila baca. Kini, saya hampir kehilangan kemampuan membaca dan menyerap artikel yang agak panjang di web maupun media cetak" - Scott Carp.

   Jadi sebelum memulai pembahasan ini. Pertanyaan sederhana: apakah anda masih sanggup membaca dalam waktu yang cukup lama, sejam misalnya? apakah ketika membaca artikel yang panjangnya diatas 1000 kata masih tetap sabar mengikuti atau mata dan tangan mulai tidak sabaran, ingin pindah tab; baca notif di sosial media; buka chat di hp atau melakukan yang lain? jika tidak, maka untuk tidak membuang waktu, konklusinya adalah internet secara pasti telah merubah cara berpikir kita. Internet mengajarkan cara agar bisa multitasking; tidak sabaran untuk melakukan hal lain; terbiasa dengan interupsi; dan menurukan daya serap informasi dari sebuah bacaan.Internet memang memberikan kemudahan dan kesenangan, tapi juga mengorbankan kemampuan kita dalam berpikir secara mendalam.

    Namun jika masih sanggup, berikut penjelasan detail yang saya sadur dari buku The Shallows oleh Nicholas Carr. Salah satu nominasi Pulitzer Award 2011 untuk kategori General Nonfiction: Benarkah internet mendangkalkan cara berpikir kita?

    Media adalah pesan
   Secara harafiah The Shallows menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal setelah terlalu dimanjakan oleh internet. Kalangan ini lalu dicirikan sebagai orang yang tak sabaran, yang tak tahan lama-lama membaca buku tebal atau artikel panjang. Yang bertele-tele dan lama sudah tak mendapat tempat lagi. Ada dua pendapat mengenai masalah ini. Pertama, mereka yang meyakini bahwa masalah diatas murni adalah kesalahan pengguna internet. Mereka percaya bahwa teknologi hanyalah alat yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya dan lebih tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya. Mengedukasi pengguna adalah solusinya. Kedua, mereka yang percaya bahwa dalam jangka panjang konten teknologi tidak lebih penting daripada teknologi itu sendiri dalam memengaruhi bagaimana kita berpikir dan bertindak. Media membentuk apa yang  kita lihat dan bagaimana kita melihanya, jika kita cukup sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa diri kita. Kita terlalu terpana dan terpesona pada hiburan sehingga tidak memerhatikan apa yang terjadi di kepala kita. Akhirnya kita berpura-pura bahwa teknologi tidaklah penting. Pandangan kedua inilah yang menjadi perhatian penulis.
    
   Dulu begitu mudah untuk tenggelam ke dalam buku atau artikel panjang. Pikiran saya akan hanyut ke dalam seluk-beluk cerita. Tapi kini? berbeda. Saya mulai kehilangan fokus pada halaman pertama atau kedua. Saya mulai gelisah, kehilangan fokus dan mencari aktivitas lain. Entah saat online atau tidak, kini pikiran saya berharap untuk menerima informasi seperti cara internet mendistribusikannya. Cepat dan singkat. Kebanyakan orang akan mengakui bahwa dia menjadi pembaca yang tidak sabaran namun menemukan diri mereka merasa lebih cerdas dan begitu gembira karena semakin banyak koneksi informasi yang didapatkan. Disinilah masalahnya, kemampuan untuk berpikir linear(berpikir secara sistematis, terarah dan memiliki tujuan serta bernalar) dan membaca sastra menjadi menurun, karena keduanya membutuhkan proses waktu yang lama dan teks yang panjang. Padahal pemikiran linear dan sastra telah menjadi inti dari seni, ilmu, dan masyarakat. Dengan lentur dan lembut, pemikiran semacam ini telah menjadi pemikiran imajinatif pada masa Renaisans Eropa, pikiran rasional dimasa pencerahan, pikiran inventif dimasa revolusi industri dan pikiran memberontak dimasa modernisme.
    
    Teknologi intelektual
   Kedewasaan intelektual kita sebagi individu bisa dilihat dari cara kita membuat gambar. Awalnya kita menggambar dari ingatan harafiah tentang fitur tempat disekitar kita, gunung sungai dan pohon.  Kemudian kita menggambar ruang dan topologi geografis serta lebih abstrak. Kita menggambar dari apa yang kita lihat menjadi apa yang kita tahu. Begitu juga dengan jam, alat ini digunkan untuk menerjemahkan konsep artifisial terhadap waktu. Internet adalah bagian dari teknologi intelektual dimana teknologi ini digunakan untuk menopang kekuatan pikiran kita. Teknologi intelektual juga memiliki etika intelektual yaitu serangkaian asumsi bagaimana cara kerja pikiran manusia atau seharusnya pikiran bekerja terhadap teknologi itu.
 
    Kita menyadari salah satu lompatan sejarah intelektual adalah penemuan alfabet. Dimulai pada 8000 SM ketika manusia pertama sekali menggunakan simbol untuk menghitung jumlah hewan. Kemudian penemuan dan penggunaan alfabet(walaupun belum selengkap sekarang) secara luas oleh masyarakat Yunani sekitar 400SM dan mengakibatkan munculnya beragaman media untuk menulis seperti daun papirus atau kulit hewan. Pada pada perkembangananya di tahun 1440an, mesin cetak ditemukan, terjadilah ledakan pertumbuhan cetakan tulisan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sampai pada akhirnya kita masuk ke jenis media baru diakhir tahun 1800an, dimana radio kemudian televisi mengubah cara orang untuk mendapatkan informasi. Kemudian internet ditahun 1990an digunakan secara luas. 
 
   Ekosistem Teknologi Interupsi
  Internet unik dibandingkan dengan media lain. Internet bersifat dua arah. Kita dapat mengirim dan menerima informasi pada saat yang bersamaan. Namun sayangnya, internet juga bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Ketika kita membuka gadget, kita tercebur ke dalam "ekosistem teknologi interupsi". Interaksi, link, kemudahan pencarian dan multimedia telah membawa volume informasi pada tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, apabila akses ke informasi menjadi mudah, kita cenderung menyukai bagian yang pendek, yang manis dan yang sedikit. Ketika kita online, kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran terburu-buru dan terganggu. Internet merampas perhatian kita hanya untuk mencecerkannya. Interupsi ketika membaca informasi dapat dilihat ketika kita menemukan link pada tumpukan teks di web, pada sepertian sekian detik, kita memberikan kesempatan pada korteks prafontal(bagian depan otak yang aktif) untuk mengevaluasi apakah perlu meng-klik link tersebut atau tidak. Sifat asli dari pikiran pembaca adalah tidak merangsang indera, tenang dan menyelemai pikiran mendalam dan bukan mengaktifkan otak untuk bagian pemecaran masalah. Namun internet mengajarkan sebaliknya.

   Informasi (muatan kognitif)yang masuk ke dalam memori aktif kita , yang kita terima melebihi kemampuan pikiran kita untuk menyimpan dan memproses informasi, maka kita tidak bisa menyimpan informasi atau menarik kaitan informasi tersebut dengan memori jangka panjang. Akhirnya kita tidak mampu untuk menerjemahkan informasi baru itu kedalam skema yang ada dalam pemikiran kita. Kemampuan belajar kita menurun drastis dan pemahaman kita tetap dangkal. Kita semakin sukar untuk membedakan antara informasi yang relevan dengan yang tidak relevan, kita menjadi konsumen data yang tak punya otak. Untuk memahami bagaimana sebenarnya pengalaman membaca diinternet dapat dilakukan dengan membaca buku dan disaat yang bersamaan mengerjakan teka-teki silang.

   Interupsi hiperteks telah membawa kita pada pemahaman yang baru. Ada penemuan yang menyebutkan bahwa pemehaman kita menurun seiring meningkatknya jumlah link pada sebuah artikel. Hal ini tentu bertolakbelakang dengan jargon bahwa hiperteks akan menggiring ke arah pengalaman yang kaya akan teks, hiperteks akhirnya mengurangi kinerja membaca kita. Hiperteks dan hal lain, telah menyedot sumber daya mental kita. Ketika kita membaca dan teralihkan maka akan dibutuhkan lebih banyak energi untuk kembali melakukan reorientasi terhadap teks bacaan tersebut. Namun sayangnya, keluar dari media interupsi tersebut bukanlah pilihan yang dipertimbangkan kebanyakan kita.

   apakah kita, benar-benar membaca ketika melakukan browsing? jawabanya adalah tidak. Kita membaca artikel seperti pola huruf F. Membaca paragram pertama, kemudian paragram keduan dan melompat kebawah, tanpa mendalami tulisan tersebut. Kita tidak fokus, tidak tenang dan banyak interupsi. Peralihan konstan perhatian ktia ketika sedang online, membuat otak kita lebih gesit dan sampai pada tahap multitasking, namun semakin meningkatnya multitasking, sebenarnya menghambat kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam dan kreatif. Kebebasan kita akan berkurang dan semakin kurang kemampuan berpikir dan menalar sebuah persoalan. Akibatnya, makin cenderung bergantung pada berbagai gagasan dan solusi konvensional daripada menantang cara berpikir original(baru). Ketika kita melakukan multitasking online, kita melatih otak untuk memperhatikan sampah dan ini terbukti berpengaruh buruk untuk kemampuan intelektual kita.

      Kemana muaranya?
     Kita menyadari bahwa pengetahuan itu ada dua macam. Kita memahami sebuah subjek dan atau kita memahami di mana tempat menemukan informasi tentang hal itu. Dan kecerdasan kita tidak lebih baik dari para pendahulu kita. Kita hanya cerdas dalam hal yang berbeda. Kita harus seperti lebah. Kita harus menyimpan informasi diruang yang berbeda tentang apapun yang kita kumpulkan dari berbagai bacaan. Kemudian, setelah setelah dengan rajin menerapkan semua sumber daya bakat asli kita, kita harus mencampur  berbagai macam sari madu yang telah kita kecap, lalu mengubahnya menjadi zat yang manis, sedemikian rupa sehingga sekalipun jelas dari mana asalnya, akan tampak jauh berbeda dengan aslinya. Kita banyak menyimpan "pengetahuan mendalam yang sedikit" didalam benak kita. Dengan adanya teknologi baru, kita harus peka tentang apa yang hilang dan apa yang kita dapatkan.  Akhirnya, mungkin kita akan kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi pada sebuah tugas yang kompleks dari awal sampai akhir. Namun sebagai gantinya kita, memperolah keterampilan baru, misalnya melakukan beberapa percakapan secara bersamaan dari beberapa media berbeda. dan bukan berarti kita harus “menjauh” dari teknologi internet. Kita memang harus bijak dalam menggunakan suatu teknologi. Buku ini seperti sebuah peringatan agar pembaca tidak mengikuti begitu saja arus teknologi yang ada di sekitarnya.
 
    Catatan kaki:
    Fenomena yang diangkat penulis ini, sebenarnya terjadi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pernah membuka situs berita online? hampir keseluruhannya sama. Singkat, bombastis dan hampir tak ada isi(dangkal). Berbeda dengan koran cetak yang biasanya muatannya sudah melalui proses yang cukup panjang untuk sampai ketangan anda. Tentu dengan konten informasi yang lebih baik dari media online.
 
    Media sosial juga mengajarkan hal demikian,kita dihadapkan pada situasi dimana informasi yang diberikan itu harus singkat, dan tak bertele-tele. Kita hanya tau kesimpulannnya namun tak bisa menarik, akar pembahasannya. Belum lagi dengan fakta bahwa jumlah minat baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Bahkan kita tak sampai satu buku per orang per tahun. Dan di Asia Tenggara?, kita berada pada posisi paling bawah.

    Akhir-akhir ini sedang digalakkan untuk membaca e-book. Itu sangat baik, mengingat nilai ekonomis yang ditawarkan dan fleksibelitasnya. Namun, harus dipastikan bahwa e-book tersebut bebas dari interupsi. Jika tidak, maka hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Interupsi ini bisa berupa hipertext, iklan, atau media yang terinsall di gadget untuk membuka e-book tersebut.

   Note: hipertext dimaksudkan diatas adalah teknologi html, seperti link, popup atau slider text yang mengganggu konsentrasi kita.
***

[Review Film] Amadeus - 1984

 
Mozar saat menjadi komposer di opera The Magic Flute
    Amadeus(Loved by God) adalah salah satu film terbaik yang pernah saya tonton, walaupun di IMDB hanya menduduki urutan 90-an, tapi ini sejajar dengan The Shawshank Redemption. Tulisan berikut tidak membicarakan adaptasi dari mana, siapa sutradaranya dan seberapa banyak penghargaan yang didapat. Ini hanya review saya tentang salah satu film terbaik yang underrated. Bagi yang khatam sejarah Mozart, tidak usah protes, film ini tidak semuanya sesuai sejarah. Ini hanya adaptasi cerita. so lets begin...

    *spoiler alert*
    Pertama, ini bukan film biografi Wolfgang Amadeus Mozart, komposer klasik yang termasyur itu. Ini adalah cerita pengakuan Antonio Salieri [1750-1825] salah satu komposer Italia penting dan terkenal dieranya. Salieri diakhir hidupnya berupaya untuk bunuh diri karena telah merasa membunuh Mozart. Semuanya itu karena iri terhadap kejeniusan Mozart. Tapi apakah hanya sesederhana itu? tentu tidak.

   Pada masa muda Salieri adalah penganut kristen yang taat. Dia sangat mencintai musik, namun ayahnya melarangnya. Sampai dia bernazar, kalau dia diijinkan Tuhan untuk bermusik dia akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk memainkan musik untuk Tuhan. Dan singkat ceritanya, dia mencapai apa yang dia inginkan ketika dewasa. Salieri menjadi komposer bagi kekaisaran romawi Joseph II dan menganggap itu sebagai bentuk kesuksesan dan imbalan karena ketaatannya kepada Tuhan. Salier was loved by god!

   Semua berjalan sesuai keinginannya, sampai sebelum Mozart datang. Semua orang dikekaisaran sudah mendengar kabar tentang kejeniusan Mozart dan sungguh Salieripun menanti kedatangan anak ajaib ini. Tetapi diluar dugaan, gambaran sosok Mozart yang jenius itu runtuh. Salieri hanya bertemu seorang anak yang urakan, tidak tahu sopan santun, suka berkata vulgar dan kekanak-kanakan. Ditambah lagi suara khas tertawa Mozart difilm ini memang sangat mengganggu telinga yang mendengarnya. Namun dibalik itu sebenarnya Salieri sangat mengagumi kejeniusan kompisis Mozart. Ini terlihat ketika dia memperdaya istri Mozart agar mau membawakan kertas komposisi Mozart kepadanya, dan Salieri menangis. Dia mengatakan "On the page it looked nothing. The beginning simple, almost comic. Just a pulse. Bassoons and basset horns, like a rusty squeezebox. And then suddenly, high above it, an oboe. A single note, hanging there, unwavering. Until a clarinet took over and sweetened it into a phrase of such delight! This was no composition by a performing monkey! This was a music I'd never heard. Filled with such longing, such unfulfillable longing, it had me trembling. It seemed to me that I was hearing the voice of God

   Disinilah konfliknya, Salieri yang selama ini merasakan penyertaan Tuhan dalam hidupnya, mulai terguncang. Tuhan tidak adil dan kejam, bagaimana mungkin talenta musik hebat itu bisa jatuh kepada seorang anak urakan dan cabul. Dan saat para pemimpin di keuskupan tersebut lebih menyukai lagu gubahan Mozart, Salieri merasa Tuhan telah mengejek kemampuannya melalui kejeniusan Mozart. Seiring waktu berjalan, Salieri menjadi semakin terguncang imannya dan pada satu titik menyatakan perang terhadap Tuhan. Salieri mengupayakan segala hal untuk menghambat karir Mozart. Sedangkan disisi lain, Mozart walaupun dengan kejeniusannya, jalan hidupnya penuh rintangan. Mozart bersusah payah untuk mempertahankan idealisme musiknya; kesedihan yang mendalam atas meninggalnya ayahnya; dan kesulitan keuangan karena sifatnya yang boros dan penurunan komisi dari kekaisaran. Kemudian istri dan anaknya pergi karena tak tahan hidup miskin dan tak jelas masa depan. 

  Dan Salieripun melihat kesempatan. Dia ingin membalaskan dendamnya pada Tuhan dan Mozart. Mozart diminta untuk menulis requim untuk misa. Salieri, berjanji untuk membayar besar atas karya tersebut, sehingga masalah keuangannya akan hilang.  Dengan perjanjian itu Mozart bekerja keras untuk menyelesaikan komposisi Requim, sampai Mozart berada pada titik kelelahan dan kesehatannya terus memburuk. Dengan liciknya, Salieri seakan menjadi 'manager' pengganti untuk opera The Magic Flute dan meminta mozart tetap menyelesaikan tugasnya dirumah sembari sakit-sakitan sampai Mozart mendikte nadanya untuk ditulis oleh Salieri. Pada pagi harinya setelah semalaman menulis komposisi, istri Mozart datang, dan menyuruh Salieri pergi dan tanpa sepengetahuan mereka, Mozart meninggal. Mozart kemudian dikuburkan dipemakaman orang miskin tanpa penanda, sehingga orang sampai sekarang tidak tahu dimana kuburan Mozart.

   Salieri pada hari tuanya yang penuh dengan penyesalan, mengakui kepada pastor yang menangani kegilaanya, berkesimpulan Tuhan lebih memilih untuk membunuh Mozart ketimbang, menyelesaikan karya tersebut untuk memuliakan Tuhan melalui diri Salieri. Tuhan itu jahat!

   Jadi apa yang menarik dari film ini?
   Penggambaran Antonio Salieri yang diperankan oleh F. Murray Abraham, sebagai seseorang yang membenci Mozart dan disaat yang bersamaan sangat mengagumi karyanya sulit untuk dideskripsikan. Ada beberapa scene difilm ini yang menunjukkan, ketika dia memuji dan melihat tulisan karya Mozart, dia menarik nafas dan menangis. Dia seperti mendengar suara Tuhan melalui musik Mozart. Dan penampilan F. Murray Abraham sebagai Salieri adalah salah satu pendalam karakter film terbaik yang pernah ada, menurut beberapa kritikus film. Dan penampilan Mozart yang ditampilkan Tom Hulce, juga sangat bagus. Mozart yang, tanpa ragu, digambarkan sebagai komposer jenius namun urakan. 

  Film ini, dengan alur cerita yang mengalir, menggambarkan ironi orang cemburu terhadap talenta orang lain bahkan menelan sendiri nazar yang pernah diucapkannya. Salieri menganggap bahwa talenta tidak layak didapatkan oleh orang yang urakan, karena ini diyakini dari kecil. Menurut saya, difilm ini, Salieri pada saat benci pada Mozart adalah psikopat. Karena dia tidak memperdulikan orang lain, lingkungkannya untuk memenuhi cita-citanya. Tetapi, kenapa bukan sociopath? karna sociopath itu cenderung spontan dan tanpa memikirkan konsekuensi. Hal ini bisa terlihat dari cara dia membangun rencana untuk meruntuhkan ekonomi Mozart. Namun pada masa tuanya, dia menyesali perbuatannya. 

"All I wanted was to sing to God. He gave me that longing... 
and then made me mute. Why? Tell me that. 
If He didn't want me to praise him with music, 
why implant the desire?  Like a lust in my body! 
And then deny me the talent?"- Antonio Saliery
Nilai : 9.5/10
   -------------------------------------
   Beberapa Fakta Sejarah yang sebenarnya.

  • Salieri tidak membunuh Mozart. Mereka kolega yang tidak terlalu dekat. Mozart kemungkinan meninggal karena demam rematik
  • Walaupun miskin istri Mozart tak pernah meninggalkannya, dan kompisisi yang sedang ditulis dilanjutkan oleh beberapa teman komposer Mozart.
  • Tertawa mozart tidak seperti pada film, itu hanya penggambaran bagaimana Salieri meliha tawa orang yang tidak disukainya.
  • Mozart tidak urakan didepan umum, dia bisa menjaga sikap didepan para aristokrat saat itu
   -------------------------------------