Kamis, 28 April 2016

[Review Buku] Siddhartha - Hermann Hesse



    Yang pertama,buku ini bukan mengenai perjalanan hidup Sang Buddha tetapi setting cerita ada pada jaman dimana Siddharta Gautama hidup . Sebagai salah satu novel terbaik abad 20 (*katanya), buku karya Hermann Hesse terbitan 1922 ini banyak dapat pujian. Selain pemilihan katanya yang mengalir, buku ini juga banyak menyelipkan nilai-nilai filosofis.
    Novel ini bercerita tentang 'Ekspedisi' seorang yang bernama sama dengan sang Buddha- Siddharta, dalam mencari arti hidup dan kebahagian, padahal sebenarnya dia sudah banyak dikagumi orang sekitarnya, namun pikirannya bahwa, pujian tidak akan menjamin kebahagiaan ataupun pertanda kalau dia sudah menemukan arti hidup. Dia ingin mencapai pencerahan.
    Namun dia tahu bahwa mencapai pencerahan tidaklah didapat dengan mendengarkan orang sudah mendapat pencerahan dan melakukannya, tetapi menemukannya sendiri. Sebab itu sepanjang cerita dia telah bertemu dengan para Shamana pengembara, Sang Budha yang sudah mendapat pencerahan, Kamala seorang wanita penghibur, Kamaswani seorang pedagang dan seorang tukang Sampan yang akhirnya menyadarkan Siddharta tentang apa yang dia cari dan bertemu juga dengan teman masa mudanya - Govinda - yang menyadari kalau Siddharta sudah mencapai pencerahan.
   Buku ini mendeskripsikan 'proses mengalir' seseorang mulai dari kegusaran sampai pada akhirnya menemukan dirinya sudah sampai pada apa yang diinginkannya. It's worth reading.

“Wisdom cannot be imparted. Wisdom that a wise man attempts to impart always sounds like foolishness to someone else ... Knowledge can be communicated, but not wisdom. One can find it, live it, do wonders through it, but one cannot communicate and teach it.” 
― Hermann Hesse, Siddhartha

“It is not for me to judge another man's life. I must judge, I must choose, I must spurn, purely for myself. For myself, alone.” 
― Hermann Hesse, Siddhartha
    

1 komentar: