Minggu, 23 Oktober 2016

Film Dead Poetry Society dan kenapa masih relevan untuk dibicarakan sampai sekarang


Carpe diem: seize the day!
Dua kata itu akan teringat jika sudah menonton film ini.
Untuk review filmnya sudah banyak dan bisa cari di google.

"When you read, don't just consider what the author thinks, consider what you think" - John Keating

Tulisan berikut lebih untuk menjelaskan hal - hal yang muncul dipikiran saya dari dari film keluaran 1988 ini: consider what you think.

   Motivasi si Guru John Keating
   Tokoh sentral dari film ini adalah si guru: John Keating. Dia guru aneh menurut murid di sekolah itu, dan setidaknya menurut saya juga, karena pengajaran yang diberikan berbeda dari kebiasaan yang sudah ada: cenderung monoton dan membosankan. Dulunya Keating dan teman-temannya sering berkumpul di sebuah gua untuk membaca puisi dan membentuk komunitas the Dead Poet’s Society. Klub yang anggotanya gemar membaca puisi dan selalu punya pemikiran berbeda dari yang lainnya. Keating menggunakan media puisi untuk berekspresi dang mengungkapkan jati diri. Jadi puisi adalah cara atau jalan yang mereka gunakan untuk menemukan jati diri mereka.

  Keating ingin siswa tersebut merasakan mantra puisi yang sama, yang dulu juga telah melepaskan mereka dari jenuhnya hidup di Welton. Mereka tetap berprestasi, bahkan Keating adalah salah satu lulusan kehormatan Welton, tapi soal mencari arti hidup, dia dan teman nya di Dead Poet's Society setidaknya lebih tahu cara menemukannya. Mereka bebas dari tekanan sekolah dan orang tua.  Mereka tak takut lagi menjelajah, menemukan impian, cita-cita, dan keunikan pribadi masing-masing. Dan itu yang ingin Keating tularkan, kebebasan berpikir: be a freethinker.
  
  Keterlibatannya secara aktif pada perkembangan sosial anak didiknya dilalui dengan obrolan diskusi yang intim dan hangat di luar kelas. Pak Keating merupakan satu satunya guru yang menerapkan metode belajar yang unik di Welton. Ia lebih senang mengajar anak muridnya dengan cara mengarahkan agar bisa lebih mengeksplorasi kedalam diri mereka sendiri dan mengekspresikan ide ide mereka. Dan dalam proses mengarahkan tersebut Pak Keating menggunakan permainan permainan outdoor sebagai medianya. Cara yang aneh dan bahkan terlarang di sekolah bermartabat sekelas Welton saat itu.

  Carpe Diem: Seize the day, mengajarkan esensi penting yang sering dilupakan. Alan Watts mengatakan bahwa hidup tidak melulu tentang tujuan akhir, tujuan yang sedang kamu persiapkan di 50 tahun awal hidup mu, kemudian melihat hasilnya di hari tua. Hidup juga tentang cara menikmati hari ini, tentang cara memainkan musik dan meraih hari. Kita manusia seperti piano, alat musik. Kita tidak mengerjakan piano karena pianonya sudah ada. Dan jujur saja, kita tidak punya kemampuan untuk membuat piano. Tapi kita bisa memainkan piano, musti malah. Satu komposisi lagu bukan berarti akhir dari sebuah karir piano. Tapi komposisi satu meloncat ke komposisi yang lain. Carpe Diem, menekankan bahwa hari itu tidak lebih adalah satu komposisi, satu kertas coretan nada yang harus dimainkan. Tidak ada tujuan piano 10 tahun kedepan, yang dia tahu, dia akan mengeluarkan nada yang ditekan seperti yang diinginkan si pemainnya saat itu juga. Keating ingin siswa di Welton, tidak menghabiskan hidupnya  di asrama dengan kejenuhan dan membunuh kreativitas mereka, menunggu dinyatakan lulus tiga tahun kemudian. 

  Keating menunjukkan bahwa tempat yang sama dapat terlihat berbeda dengan cara sederhana: lihatlah ruang kelas mu yang monoton itu dari atas meja, dan kamu akan melihat sisi baru dari ruangan. Apakah duduk diatas meja melawan aturan sekolah? ya, tapi apakah kamu juga mendapatkan hal baru yang sebelumnya belum pernah terpikirkan? itu juga ya. Kita perlu untuk menimbang aturan dan mengimprovisasinya untuk mendapatkan hal baru. Sudut pandang baru.


   Merobek Halaman Pertama
   John Keating ingin menghilangkan pemahaman terbatas mengenai sebuah puisi. Seorang siswa membaca pengantar buku tentang puisi, yang menyebutkan bagaimana mengukur kualitas sebuah puisi, yang dapat diukur dan diberi skala: dengan melihat seberapa banyak pembacanya, proses ini sudah umum dalam literatur klasik waktu itu. Keating, sebaliknya menyuruh muridnya merobek halaman pengantara puisi di buku tersebut. Seluruh film ini juga adalah proses penyadaran, dimana para murid (dan juga pemirsa) melihat bahwa otoritas lembaga (seperti sekolah) dapat dan selalu berupaya menjadi pengarah, tapi hanya diri kita sendiri yang dapat mengetahui siapa diri kita.

  Halaman pertama yang dirobek bukan saja hanay buku puisi di film itu, cakupannya lebih luas lagi: kurikulum sekolah, aturan pekerjaan, tata cara dalam masyakarat dan panduan apapun, yang awalnya dianggap sebagai pandangan, justru dapat membunuh cara pandang dari sisi lain. Pemikiran ini memiliki dua sisi: baik dan buruk. Baiknya, kita sudah tahu best practice sistem berjalan, tinggal ikuti saja. Buruknya, hal ini bisa saja menutup sudut pandang lain yang dianggap tabu. Misalnya pada buku ini, puisi bagus itu dilihat dari jumlah pembacanya. Mungkin penulis buku itu dulu sudah melihat melalui pengamatan dan pengumpulan data bahwa memang benar cara itulah cara terbaik menilai sebuah puisi, namun jika hanya berpatokan pada hal tersebut dan mentah-mentah diikuti siswa maka mereka akan menganggap cari itu benar dan cara lainnya salah. Ini yang tidak diinginkan oleh Keating.  Kita butuh sudut pandang lain, persinggungan berbagai disiplin ilmu untuk melihat sebuah masalah atau menilai apapun, termasuk puisi.

  Hal lain yang sedang diajarkan Keating, adalah tentang kebajikan dari dalam diri. Kebajikan, kata yang ingin di bangkitkan kembali oleh Barry Schwartz, dimana di abad 21 ini kata itu semakin tidak populer. Pak Keating mengajarkan siswa untuk berani mengejar impian, mengutarakan pendapat dan melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Aturan lambat laun telah menggantikan kreatifitas dengan keseragaman. Aturan perlahan menutup nurani untuk menilai sesuatu. Aturan pada dasarnya adalah deskripsi yang dangkal dan cukup buram untuk dijadikan penilaian. Kita tahu permasalahan yang sesungguhnya terjadi ditengah-tengah kita memiliki banyak faktor yang tidak dideskripsikan dengan jelas didalam aturan. Tapi kita telah memaksakan aturan untuk melihat point-point besarnya saja dan memisahkan detail lain yang justru menghilangkan campur tangan nurani. Misalnya saja, kasus pencurian singkong untuk kebutuhan makan yang berujung penjara. Apakah hakim sudah memakai aturan ? ya sudah dan mereka tidak dapat disalahkan untuk itu. Tapi apakah mereka menggunakan nurani? saya tidak tahu persis. Tapi inilah yang tidak tercatat resmi didalam aturan mereka, mereka butuh fakta, bukan sentimen. Namun justru itu yang malah menghilangkan nurani mereka melihat kasus ini dari kaca mata masalah sosial. Kemiskinan. Dan inilah yang disadari Jerman, para tahanan yang ingin melarikan diri tidak dihukum karena adalah naluri manusia untuk bebas. 


   Kepala Sekolah dan Guru Welton Academi
 Mereka adalah penanggungjawab semboyan Kehormatan, Disiplin dan Kecerdasan dari sekolah terpandang itu. Pendidikan disana sangat keras dan kaku. Tidak jarang upaya tersebut menyebabkan proses belajar di kelas menjadi monoton dan membosankan, seperti menghafal apa yang diajarkan oleh guru maupun yang tertulis di buku. Pengungkapan diri lewat seni dan proses belajar dengan puisi dianggap tabu dilingkungan sekolah Welton. Itu tidak ada dalam daftar kriteria lulusan mereka, karena seni tidak akan membawa mu kemana-mana. Yang kamu butuhkan hanya ilmu pasti saja.
   Pengembangan proses belajar yang lebih menarik dan keluar dari jalur ortodoks, bukanlah pilihan. Tidak ada di kamus mereka bahwa jalan untuk mendapat ilmu bisa didapat dari berbagai cara. Mereka mempercayakan semua pada tradisi, pada landasan yang sudah ditetapkan dari awal. Karena mereka yakin betul, tradisi dan nilai ini telah menyelamatkan sekolah mereka hingga bisa bertahan sampai sekarang bahkan disegani. Memahami dan menerapkan cara lain terlalu beresiko dan tidak ada jaminan dan gambaran kemana sekolah ini dalam 20 atau 30 tahun kedepan, sedangkan cara lama telah teruji ratusan tahun. Mereka berusaha mengabaikan perubahan diluar dinding sekolah mereka. Mereka meliha keluar, mereka belajar apa yang berubah diluar, tapi di dalam sekolah mereka mempertahankan cara-cara lama. 
  Tapi kalau boleh jujur, tidak melulu bahwa mempertahankan cara-cara lama adalah bukti kekolotan cara pikir kepala sekolah dan guru guru di Welton Academy. Mereka mungkin sudah sadar cara lama ini sudah tak relevan lagi. Alasan lain yang bisa di terima adalah, mereka sebenarnya sedang menghindar untuk menerima konsekuensi, mereka meletakkan semua tanggung jawab dan resiko diatas aturan sekolah yang berumur ratusan tahun itu. Mereka tidak mau mengambil resiko atas nama baik mereka, nama baik sekolah dan masa depan anak didik mereka hanya untuk mencoba cara baru. Cara yang belum membuktikan hasil atau cara yang dinilai tidak akan membawa mereka jauh lebih baik dari cara-cara yang sudah ada. Yang mereka tidak sadari adalah mereka sedang membentuk nilai apatis dan individualis bagi siswa disana. Mereka memperkenalkan bahwa tidak ada jalan lain. Cara inilah dan hanya ini yang akan mereka bawa nantinya menjadi bekal hidup. Mereka akan sulit menerima perubahan, sulit untuk bergabung dengan lingkungan sosial. Mereka kompetitif, tetapi sebatas pada diri mereka. Mereka sulit kompetitif secara kelompok, mereka cenderung meminimalisasi resiko dengan meletakkan semuanya pada aturan.
    Jika sesuatu dimasa depan berubah dan keluaran dari Welton tidak lagi menjawab kebutuhan atau muncul keluhan, karena sulit beradaptasi. Kepala sekolah dan guru punya dasar yang kokoh untuk disalahkan, dan itu bukan mereka. "Aturannya sudah seperti itu dari dulu! Proses belajar seperti ini sudah sangan sesuai dan berjalan selama ratusan tanpa ada masalah". Mereka lolos dari tanggung jawab. 

   Tujuh siswa
  Film ini menjelaskan bahwa ketertarikan dan siapa diri kita sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang kita pelajari selama itu tidak memunculkan ide tentang siapa diri kita. Ketujuh tokoh dan siswa lainnya adalah korban yang sama: korban mengalah pada perintah orang tua dan melupakan dirinya sendiri.
  Mereka belajar tentang berimprovisasi dengan aturan untuk menemukan jati diri mereka, siapa mereka lewat pusi. Mereka tahu bahwa berimprovisasi dengan aturan akan jauh lebih menyenangkan. Mereka keluar dari asrama, melanggar aturan untuk improvisasi, mereka menemukan nilai dari belajar puisi didalam gua kecil didekat sekolah dengan bantuan lilin. Keating mengajari mereka bahwa belajar pada esensinya cara memilikirkan diri sendiri. Memikirkan apa yang sebenarnya kita inginkan.Tetapi pemikiran bebas seperti ini juga telah membawa pada kesalahan fatal. Film Into The Wild menjadi contoh baik untuk menjelaskan bahwa passion-mu bisa jadi pembunuhmu. Keating tidak sedang mengajarkan tentang cara menemukan jati diri "semau gue". Kita tidak diharapkan keluar aturan baku yang baik yang sudah ditetapkan. Tetapi jangan kaku.
   Di era industrialisasi ini, Ken Robinson mengatakan bahwa telah ada inflasi pendidikan. Bahwa untuk mendapatkan pekerjaan, tingkat kebutuhan pendidikan meningkat pula. Menemukan jati diri, bisa alternatif lain selain gelar. Menemukan passion yang membangun dan bukan membunuh adalah masa depan pendidikan. Gelar seketika bukan lagi menjadi keharusan utama untuk bekerja. Dan sejujurnya kelah jika ada sequel film ini, ketujuh siswa inilah yang akan menjawab kebutuhan manusia masa depan menurut Ken Robinson. Manusia yang memiliki sudut pandang luas terhadap passion yang dikerjakannya untuk menhidupi dirinya dan menghidupi ilmu itu sendiri. Passion dan besarnya potensi diri sendiri, telah menambah energi mereka untuk mengerjakan tugas tambahan mereka: membaca puisi pada malam hari dipinggiran gunung bukit sebelah sekolah.

   Harapan para orang tua
   Tidak ada yang salah dengan cita - cita orang tua mereka. Mereka ingin anak yang mereka rawat dari kecil di masa depan memiliki kesuksesan. Itu saja. Mereka telah belajar dari masa lalu, tentang pegangan yang dulunya mereka miliki sebagi kunci utama meraih masa sekarang, dan impian mereka belum sempat mereka miliki, dicurahkan dan dipaksakan pada anak mereka.  Keinginan terselubung ego dan ketidakpahaman. Ego mereka bahwa satu-satunya kesuksesan adalah lewat cara yang sudah mereka tentukan dan ketidakpahaman bahwa minat anak adalah hal besar yang menentukan masa depan. Mereka memaksakan otoritas diatas keunikan setiap orang, cara didikan yang dulu mereka dapatkan turun temurun. Sebenarnya mereka sama saja dengan prinsip yang di pegang oleh Welton. 

   Mereka sebagai orang tua berusaha agar anaknya berada dijalur yang sudah dari dulu ditentukan, mereka menjadi apatis, tertutup untuk kemungkinan lain, karena apa yang dulu mereka terima toh juga telah membuat mereka sebagai orang tua berada diposisi sekarang. Mereka takut membiarkan hal yang tidak jelas arahnya, mempengaruhi pikiran anak mereka. Tidak jelas, karena belum tahu, ataupun tahu tapi tak ada jaminan, tak ada visi jelas bagi mereka soal cara baru ini. Mereka pikir membaca puisi, adalah hal remeh, itu bisa jadi cara ke sekian dalam urutan mencari jati diri. Kehormatan keluarga, Disipilin diri dan kercedasan tidak bisa dinomorduakan. Tapi caranya harus persis seperti yang orang tua mau, seperti baja rel kereta api, memaksakan "kreatifitas yang dibatasi" pada track yang mereka anggap benar. Orang tua selalu membela dengan beralasan, tidak ada jalan kerikil disana, hanya usahamu sebagai anak memacu diri untuk fokus pada stasiun terakhir: masa depan yang baik. Inilah yang setiap orang tua inginkan dan berusaha agar anaknya sekolah ditempat sebaik mungkin dan saat itu Welton adalah salah satunya. Tapi pertanyaan mendasarnya bagaimana jika anaknya itu bukan gerbong kereta seperti yang mereka bayangkan? bagaimana jika anak mereka bukannya butuh rel baja yang kaku, tapi aspal hitam mulus untuk meliuk-liuk, atau butuh tanah dan batu kerikil karena tapak ban mereka lebih cocok untuk jalan setapak?


   Puncak Konflik: Neil Bunuh Diri
   Inilah yang membuat film ini menjadi nyata, jujur adanya. Keluar dari kebiasaan film yang biasanya happy ending. Entah itu perubahan kearah yang benar atau tidak, akan ada selalu konflik. Dan jika tidak disadari dari awal, harga yang harus dibayar biasanya mahal. Inilah yang ingin ditekankan oleh film ini, bahwa pertarungan nilai didalam diri biasanya besar harga yang sedang dipertahuhkan. Dan jika orang sekitar tidak peka karena tembok ego  kokoh, maka bisa jadi penolakan diri adalah resiko dan kematian adalah ganjaran yang sudah menunggu diujung jalan.
  Karena tipikal seorang ayah yang keras dan otoriter maka istilah demokrasi, menentang, atau bahkan mempertanyakan tidak ada dalam keluarga Neil.   Ayahnya menentang keinginan anaknya tersebut dengan keras. Ia sudah membayar mahal sekolah Neil agar menjadi orang yang sukses dalam kehidupan, bukannya menjadi aktor yang tidak menjanjikan apa-apa, setidaknya menurut ayah Neil. Pikiran Neil sudah buntu saat ayahnya menentang keras dan tidak mau kompromi. "Ia merencanakan hidupku tapi tak pernah menanyakan apa yang aku inginkan". Kemudian bunuh diri. Keating di keluarkan dari sekolah.

Jika kita sadari kita bisa berada disetiap posisi atau meresakan tekanan dari posisi lain. Kita bisa saja sekarang menjadi, Keating orang yang kreatif yang menemukan arti hidupnya itu. Bisa saja menjadi penanggung jawab organisasi (kepala sekolah atau guru) yang pokoknya diluar aturan adalah salah. Bisa saja menjadi satu diantar tujuh teman yang sedang bersama mencari jati diri. Atau jadi orang tua yang merasa memiliki hak penuh atas nasib anaknya. 

  Ini adalah gambaran nyata yang banyak terjadi. Tidak ada si-baik atau si-benar dan si-buruk atau si-salah. Keating benar karena membantu anak didiknya keluar dari lingkaran yang membosankan dan menemukan jati dirinya tapi salah karena tidak memperhatikan ada pertarungan besar dalam diri Neil, ada harga yang begitu mahal yang sedang dipertaruhkan Neil. Ketujuh anak itu benar karena memiliki hasrat untuk menemukan makna hidup dan menerapkan carpe diem untuk menemukan cinta dan hasrat pribadi, tapi salah kurang paham mengkomunikasikan perubahan nilai dalam diri mereka ke orang - orang di sekitar mereka. Kepala sekolah dan guru Welton benar karena menerapkan nilai baik yang menjadi tradisi tetapi salah karena tertutup dengan perubahan. Orang tua siswa khususnya Neil benar karena menginginkan yang terbaik bagi anak mereka namun salah karena mereka memaksakan kehendak. 


"We don't read and write poetry because it's cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion. So medicine, law, business, engineering... these are noble pursuits and necessary to sustain life. But poetry, beauty, romance, love... these are what we stay alive for.

-------------------------------------------------------------------
"These are what we stay alive for: poetry, beauty, romance, love", dan berikut salah satu puisi dari teman dekat di IG: 

@bojakliar (Samuel Sibarani)
------------------------------------------------

Lautan titik lampu
bingar yang kacau
pengap gatal hawa karbon
damai hanya mitos

Baru saja kau tenggak segelas kopi
dan berselancar dalam isu terkini
lalu kewajiban menyergap memukul tengkorakmu!

Kau tampak nikmati semua lewat citra digital palsu
padahal gelisahmu meledak mengawali minggu

Larilah
pulang

Ada surga yang tidak benar-benar surga
tidak untukmu
dan aku juga


Ayo

***

2 komentar:

  1. keren bang pemikirannya. Ane salah satu penggemar film dan buku (lagi order) Dead poets society. Dari mulai nonton langsung suka sama filmnya dan mau coba juga baca bukunya. Menurut ane pesan pesan yang di sampaikan di film ini semuanya kuat dan karakter2 nya juga kuat. menggambarkan tentang realita yang terjadi sampai sekarang dan.. yaa.. memang benar masih relevan dibicarakan sampai sekarang. Semoga ada karya anak bangsa indonesia yang ga kalah kuatnya:)

    BalasHapus