Minggu, 30 Oktober 2016

Kopi dan Kwang koan

   Setelah ayah meninggal, seingat saya sudah tujuh tahun tidak pernah lagi minum kopi, itu di tahun 2014. Dulu di rumah juga kopi hanya disediakan bagi tamu saja. Ini akibat salah satu komplikasi alm. adalah kopi yang mengikis lambung. Kita sekeluarga menjadi trauma. Dan setelah di jakarta, teman kantor menceritakan ada sebuah kedai kopi yang terkenal di daerah kelapa gading. Agaknya saya ragu waktu itu, tapi tak apalah menghargai saran teman dan bernostalgia lagi dengan sedikit kopi. Dan ternyata enak. Kwangkowan.



Sekarang.....,*move to another scenes*
Rindu itu candu. Bukan. Ini bukan sedang bicara sajak. Ini bicara kopi.
Kopi itu candu.

   Saya pikir tak perlu filosofi segala untuk minum secangkir kopi di sabtu dan minggu pagi yang tenang, ya karena sebagai karyawan: senin sampai jumat pagi yang tenang itu sudah hilang. Keburu di klakson dari belakang, berlomba-lomba ke tempat kerja. Dan, Jenghis Khan, Stalin dan Hilter  yang tersohor itu saja tak pernah mempublikasikan, filosofi teh mereka. *jk, I haven't did any research about last sentence*

  Kwangkowan, kedai sederhana yang kurang fancy dibanding kedai kopi yang lagi menjamur di jakarta, khususnya di daerah kelapa gading.  Tidak ada alat barista modern disana, tidak ada banyak jenis kopi yang disajikan, hanya hitam, pakai susu hanya itu untuk jenis kopinya dan jujur saja, tempatnya agak messy. Tak ada peralatan menarik disana, hanya panci besar berisi air medidih. Radio yang selalu menyala dan Saya menyadari kalau yang punya sudah mengganti lampu lama dengan LED.

Faktanya, saya pernah terpaksa pulang karena ngantri lebih dari 30 menit hanya untuk dapat segelas. 30 menit, kayak ngantri diskon 90%.

 Dan pelanggan macam-macam, suami istri, orang tua, genk genkan yang ketawanya bikin kopi cepat dingin, yang setelah olah raga, ibadah, kumpul atau yang baru bangun tidur (this is literally me, but i don't give a sh*t about it)

  Saya sebenarnya pengen buat kopi sendiri seperti ini, dengan memperhatikan beberap kali sibapaknya buat kopi akhirnya ketemu cara buat kopi yang agak mirip, agak mirip ya bukan sama persis, berikut untuk (1 gelas):
1. Masak air sampai mendidih 1 gelas (atau secukupnya)
2. kemudian masukkan bubuk kopi giling kasar(coarse atau yang medium), tetapi karena kebanyakan yang dijual dipasaran adalah yang halus, tak apalah, ini bukan mau duplikasi cuman mau buat mirip mirip dikit saja.
3. Setelah 3 sampai 5 menit, saring air kopi dari ampasnya (ini penting, karna kopi dengan dan tanpa ampas itu beda rasanya)
4. Tuangkan susu kental masin Carnation (ini penting, karena kalau pake susu kental manis yang lain, rasanya beda)

Nah cara itu, biasa saya lakukan dikantor, sehabis makan siang.

*Flashback*
Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah. Saya hampir setiap hari berada dibawah pohon kopi. Metik biji kopi. Salah satu moment paling diingat adalah ketika daun biji kopi mekar.  pernah saya ingat, orang tua mencoba membuat bubuk kopi sendiri. Entah ini karena pengen hemat atau naluri eksplorasinya lagi di uji. Dengan sederet, pemahaman yang cukup sophisticated saat itu, jadilah bubuk kopi rumahan. Dan ketika uji test malamnya.  Tengggg, melek sampe subuh. Ternyata kita baru tahu, kalau kopi robusta yang ada dikebun belakang, adalah jenis kopi nomor dua. Yang cocok itu pakai kopi arabica. Kopi robusta itu lebih kuat kafeinnya dan lebih pahit. kegagalan pertama pembuatan kopi saat itu, membuat sekeluarga memutuskan untuk berhenti bereksplorasi membuat kopi sendiri. gagal.
***

1 komentar: